Tantangan Membidik Digital Native

Property-in.co – Di Amerika, mereka yang lahir setelah 1985, dikatakan generasi digital native. Kalau di Indonesia, mungkin yang disebut sebagai generasi digital native adalah mereka yang lahir setelah 1990 atau beberapa tahun lebih lambat dibandingkan dengan orang Amerika. Mereka lahir saat teknologi internet sudah akan dimulai dan saat masuk sekolah dasar, teknologi internet sudah dapat diakses.

digital native

Mereka yang lahir di tahun-tahun sebelumnya adalah kelompok digital immigrant. Disebut demikian karena mereka sudah biasa berada di dunia real, tetapi kemudian dipaksa untuk masuk dalam dunia virtual. Mereka menggunakan internet saat sudah dewasa atau bahkan saat sudah memiliki penghasilan. Tidak seperti anak remaja saat ini, yang sudah sejak mulanya mengerjakan banyak hal dengan internet. Hampir setiap hari mereka chatting, berbagi pengalaman dan foto melalui internet.

Bagi marketer dan pelaku bisnis, implikasinya sungguh besar—termasuk di industri properti walaupun lebih terlambat dibandingkan dengan industri seperti consumer goods dan hospitality. Pelanggan properti, terutama perusahaan pengembang, masih banyak yang digital immigrant. Maklum, pembeli properti sebagian besar berusia di atas 30 tahun. Tetapi bila pelanggan properti adalah mereka yang mengunjungi mal atau pusat perbelanjaan, bisa lebih dari setengahnya adalah para digital native.

Jauh sebelum kita melangkah membuat lompatan besar dengan segala strategi dan investasi teknologi, adalah wajib bagi kita untuk mengetahui attitude dan perilaku para digital natives ini. Hal apakah yang paling membedakan para native dengan immigrant? Attitude dan perilaku apakah yang paling signifikan perbedaannya sehingga marketer harus mengubah strateginya?

Identitas

Para digital native ini biasa mengekspresikan identitas mereka melalui online dan offline. Mereka memiliki lebih banyak akses, terutama melalui internet dan mobile.

Dalam hal identitas, beberapa perbedaan yang penting adalah dalam hal personal information. Para immigrant sangat hati-hati dalam memberikan informasi yang bersifat personal. Digital native justru sangat terbuka dan cenderung menebarkan informasi mengenai hobi mereka, apa yang mereka lakukan dan apa pandangan mereka. Mereka melakukan hal ini karena mereka memiliki keinginan untuk mencapai goal atau tujuan hidup mereka seperti friendship, social acceptance, popularitas atau sekadar pelepas stres.

Kedua, “digital native ini memiliki kemampuan untuk membentuk identitas mereka lebih cepat dan lebih beragam”. Tidak mengherankan, mereka cepat dalam membentuk berbagai komunitas dengan identitas sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Apa implikasinya bagi para marketer yang membidik segmen ini? Pertama, komponen brand personality menjadi semakin penting sebagai bagian dari brand image. Kalau di masa lalu, atribut produk, benefit, value dan self-esteem adalah komponen pembentuk brand image yang penting, maka ke depan akan semakin berubah. Marketer haruslah mulai serius untuk mengubah strategi positioning dengan memasukkan elemen brand personality. Tidak mengherankan, ritel, restoran atau mal harus memiliki konsep brand personality yang kuat untuk menarik segmen ini.

Kedua, ada peningkatan yang sangat besar dalam hal customization. Karena semuanya bergerak cepat, maka keinginan untuk mencari identitas yang semakin unik akan semakin cepat. Marketer atau pelaku bisnis, haruslah mulai memikirkan digital contentnya. Industri telekomunikasi, resto ataupun tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh digital native ini harus mengadopsi digitilization lebih cepat. Inilah salah satu cara untuk mengakomodasi keinginan mereka untuk mendapatkan layanan yang customized dan personal.

Power Shift

Dimensi kedua yang berbeda adalah masalah kontrol. Marketer harus benar-benar membuang jauh-jauh bahwa kendali ada di tangannya. Media digital yang berada di tangan mereka, baik komputer dengan internetnya atau handphone dengan fasilitas broadband, telah menjadikan mereka merasa menjadi raja atas informasi.

Bagi mereka, dipaksa untuk membaca informasi adalah konsep yang kuno. Kebebasan dan kekuasaan haruslah di tangan mereka. Tidak mengherankan, kelompok digital native ini mulai tidak nyaman dengan iklan di media cetak atau iklan di televisi. Mereka tidak memiliki banyak kendali atau kebebasan untuk memilih. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam membuat keputusan untuk menentukan, manakah yang harus dilihat dan manakah yang harus dibuang.

Web Generasi 2.0, di masa mendatang, akan dicatat dalam sejarah sebagai teknologi yang telah mengubah karakter dari digital native ini. Pertama kali diperkenalkan pada 2004, pengaruh Web 2.0 ini sungguh tidak terbendung. Implikasinya sangat luas dan seakan-akan sebuah kekuatan yang memberikan kekuasaan baru bagi digital native untuk melakukan banyak hal.

Bagi pelaku industri properti, perlu melakukan evaluasi dan digital tool yang sudah dikembangkan. Website dan media sosial yang dikelola harus semakin interaktif dan memberikan pengalaman menyenangkan dan menciptakan situasi di mana para digital native memiliki kontrol untuk membuat keputusan. □

Handi Irawan D

CEO – Frontier Capital

@HandiirawanD

About The Author

Related posts