Properti Milenial, Bersama Menjaga Pasar Masa Depan

Property-in.co – Dalam beberapa tahun lagi, generasi milenial diprediksi bakal sudah tidak mampu membeli rumah. Kita tentunya tidak bisa diam membiarkan hal ini terjadi.

Hampir semua subsektor — properti — tidak hanya perumahan dan apartemen — kini bersinggungan dengan milenial, generasi yang lahir dalam rentang 1980-an hingga menjelang 2000 tersebut. Milenial juga merupakan future market atau pasar masa depan, mereka penyumbang terbesar bonus demografi kita dan 5-10 tahun lagi akan menduduki posisi penting dalam pekerjaan/perusahaan.

Namun, belakangan marak pemberitaaan yang mengingatkan tentang kian melempemnya kemampuan mereka dalam membeli hunian. Survei terbaru dari rumah123.com dan karier.com menyatakan bahwa 2-3 tahun lagi hanya 5% kaum milenial yang sanggup membeli rumah. Persoalannya klasik, lonjakan harga rumah jauh lebih besar dibanding peningkatan gaji per tahun.

“Rata-rata kenaikan properti di Indonesia per tahun 17% (bahkan pernah sampai 100%), sementara kenaikan UMR hanya 10% per tahun,” ungkap Ignatius Untung, Country General Manager Rumah123.

Makin miris lagi saat hasil survei ini kemudian diberitakan dengan judul bombastis “95% Kaum Milenial Terancam Jadi ‘Gelandangan’ di 2020”. Meski judulnya agak lebay lantaran ‘tidak mampu membeli rumah’ belum tentu menjadi ‘gelandangan’, warning ini harus kita tanggapi serius sejak sekarang.

Prediksi survei ini juga tambah mengkhawatirkan lantaran secara psikografis, kaum milenial—yang juga sering disebut Gen Y—umumnya dicap sebagai pemboros, gandrung terhadap lifestyle, dan lebih suka traveling ketimbang menabung untuk membeli properti.

Tanggung Jawab Bersama

Persoalan ini jelas tidak bisa kita abaikan. Pasalnya, pada 2020–2030 populasi usia produktif (usia 15–64 tahun) Indonesia akan mencapai puncaknya (70% dari total populasi) dan porsi milenial merupakan yang terbesar. Inilah yang kerap disebut bonus demografi.

“Karena itu developer properti sangat perlu memahami mereka. Ke depan tren dan arah pasar akan diputuskan oleh mereka,” jelas Yoris Sebastian, praktisi kreatif yang menulis buku tentang generasi milenial.

Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, menyebutkan bahwa kebutuhan properti bagi kalangan milenial sebenarnya merupakan peluang yang besar bagi developer. Bukan hanya developer, pemerintah pun juga berkewajiban menyediakan kota-kota baru di daerah (luar Jakarta). Pemerintah harus membuka land bank baru yang secara fungsi bisa dimaksimalkan untuk dibangun hunian baik horizontal maupun vertikal. Land bank baru itu dapat menampung kebutuhan hunian bagi siapa pun, termasuk generasi milenial.

Ia membenarkan bahwa daya beli pada generasi milenial sangat rendah. “Kalau misalkan melihat daya beli itu, anggaplah kenaikan inflasi 3%, sementara properti bisa 10% bahkan lebih. Nah, kalau beli di Jakarta mungkin sulit, tapi di luar Jakarta kesempatannya sangat terbuka.”

Solusinya adalah mencari properti yang terkoneksi dengan TOD. Ali menyarankan agar milenial untuk sementara indekos atau tinggal di rusun sembari menabung untuk membeli properti di luar Jakarta. “Kalau tidak mau, ya tinggal saja di tengah kota tapi dengan status sewa. Itu juga sudah jadi tren kok di kota-kota besar Singapura atau Hong Kong.”

Hal senada dilontarkan oleh pengamat properti F. Rach Suherman. Menurutnya, pemerintah bisa ikut ‘menyelamatkan milenial’ dengan kelunakan pajak dan subsidi bagi first time buyer. Bank-bank bisa memberikan tenor panjang dan bunga khusus; kemudian developer yang kreatif bisa membidik pembeli pemula dalam jumlah masif dengan DP yang mudah dibayar.

“Bagi saya, ini tanggung jawab bersama. Kalau perlu ada Komite Nasional Penanggulangan Hidup Tanpa Rumah. Hari ini kita harus benar-benar serius agar esok tidak meninggalkan kaum milenial yang sengsara hidup di masa depan,” cetusnya dengan mimik serius.

Pemerintah memang harus segera turun tangan jika tidak ingin melihat milenial terus-terusan ‘sengsara’. Anton Sitorus, Research and Consultancy Director Savills Indonesia, merekomendasikan pemerintah mencontoh Singapura dan Thailand dalam mengatasi masalah tersebut. Kedua negara itu membuat perencanaan matang, mencukupi anggaran perumahan, dan konsisten menjalankan programnya.

Pemerintah bisa memberikan subsidi pembangunan infrastruktur serta menyediakan pinjaman lunak untuk warga membangun rumah serta melengkapi legalitas tanahnya, dan memberikan pendampingan selama program berlangsung. “Indonesia pernah menerapkan program serupa di masa lalu, tapi (sayang) sekarang tidak berlanjut,” kata Anton.

Perlu Tekad dan Nekat

Menurut Untung, ada dua alasan pihaknya merilis hasil survei tersebut. Pertama, diharapkan masalah ini bisa terdengar sampai ke pemerintah. Kedua, ingin meyakinkan milenial bahwa mereka masih bisa memiliki properti.

Generasi milenial yang mau dibantu perlu disadarkan bahwa hidup mereka terancam tidak bisa punya rumah. “Mereka masih banyak memikirkan gaya hidupnya sendiri. Entah itu traveling, ganti gadget, dan lainnya,” kata Untung.

Karena itulah harus ada perubahan prioritas dalam diri kaum milenial. Kebutuhan terhadap properti harus lebih mereka utamakan. Tidak bisa tidak. Sebab, harga properti tiap tahun selalu naik dan bakal semakin sulit dikejar. Dengan kata lain, perlu tekad dan nekat—seperti yang sering dialami banyak orang saat hendak membeli rumah pertama.

“Kalau mereka tidak start dari sekarang, tunggu gaji dua kali lipat, maka harga propertinya juga sudah naik lebih tinggi dan mereka akan tinggal gigit jari,” ujar Wasudewan, Country Manager Rumah.com.

Sementara di pihak lain, developer juga perlu upaya belum punya keinginan atau daya beli, pasarnya harus mulai digarap. Sebab, market generasi sebelumnya (Gen X) pasti akan habis sehingga perlu regenerasi market.

Untungnya, kini beberapa developer sudah mulai terang-terangan menggarap segmen ini. APL, misalnya, mengembangkan Podomoro Golf View (Cimanggis) seluas 60 hektare untuk menampung 150-200.000 kaum milenial. Paramount juga tak mau ketinggalan menyiapkan beberapa proyek khusus untuk milenial di Gading Serpong (Tangerang). Apartemen Eastpoint di Pulo Gebang (Jakarta Timur) dan Skandinavia di Serpong juga merupakan contoh apartemen milenial yang memberikan kemudahan untuk segmen tersebut.

Belum banyaknya developer yang terjun ke segmen ini bisa dimaklumi lantaran modalnya besar tapi persentase margin yang didapat kecil. Oleh karena itu, diperlukan ‘support’ dari pemerintah agar semakin banyak developer yang sanggup memberikan harga terjangkau untuk Gen Y.

Dalam membidik milenial, perlu diingat bahwa mereka itu smart customer. Akan ada banyak pertimbangan karena sebenarnya mereka itu ‘generasi susah’: waktu lahir kena krisis moneter, saat remaja merasakan krisis 2008.

“Mereka sangat peka terhadap value, ditambah lagi duitnya masih terbatas. Jadi, dari segi price harus terjangkau, produknya bagus. Fungsional secara desain, tampilan dan berkualitas tapi tidak terlalu mahal,” kata pengamat pemasaran Yuswohady.

Unsur kepraktisan pun penting. Generasi milenial masih mementingkan karier sehingga developer harus menawarkan produk yang aksesnya baik. Yuswo, menambahkan, “Akses itu juga harus tergabung dengan peta transportasi yang sudah ada di Jakarta saat ini. Kemudahan-kemudahan dalam installment juga sangat penting.”

Repotnya, yang sering terjadi, jika ada proyek yang menawarkan harga terjangkau oleh kantong milenial, ternyata unit-unit itu kemudian justru banyak dibeli oleh para investor. Nah, agar tepat sasaran, lagi-lagi di sini mesti ada pembatasan dan pengawasan yang mumpuni. Mari, bersama-sama kita menjaga masa depan generasi penerus ini.

Oleh David S. Simatupang
Liputan Aziz Fahmi, Hidayat, Richardus Setia Gunawan & Arlinda

About The Author

Related posts