Dari sekian macam investasi di properti, membeli unit kondotel bisa menjadi salah satu opsi paling menguntungkan lantaran investor hanya tinggal duduk manis menunggu uang datang. Namun, perlu diperhatikan tingkat daya huninya agar investasi ini benar-benar bisa menjadi mesin uang yang produktif?
Oleh: Aziz Fahmi Hidayat
Ceria bercampur lelah tampak menghiasi wajah Nita, seorang customer service di sebuah hotel di kawasan Sentul, Bogor, pertengahan Desember lalu. Sejak awal bulan, perempuan berparas ayu itu mengaku sudah disibukkan dengan ramainya kunjungan wisatawan yang mengisi setiap unit kamar hotel yang terdiri dari 10 lantai tersebut.
Terlebih sepanjang 9-15 Desember di mana terjadi momen long holiday yang bertepatan dengan libur nasional pada tanggal 12 bulan itu. Praktis Nita merelakan jam liburnya dipangkas untuk membantu melayani penginap yang membanjiri hotel.
“Karena musim libur panjang, para staf diminta untuk lembur melayani tamu hotel yang ramai, Pak,” ujarnya kepada saya yang kebetulan juga menginap bersama keluarga di sana.
Padahal, di hari-hari normal, tingkat inap di hotel yang juga berperan sebagai kondotel itu tidak sepadat seperti musim liburan ini. Rata-rata, seperti penuturan Nita, occupancy rate-nya sekitar 15-30% per bulannya. Tapi kali ini ia mengaku kewalahan memenuhi keinginan calon penghuni yang ditaksir mencapai 100%, bahkan lebih.
“Kami sampai menolak tamu yang sudah datang karena kamar sudah penuh,” kata Nita.
Fenomena yang dialami hotel atau kondotel tersebut tentunya menjadi kabar gembira bagi investor yang memiliki unit di sana. Keberadaan penghuni yang melimpah mengindikasikan bahwa investasinya di kondotel mampu menghasilkan nilai sewa menggiurkan sehingga berujung pada percepatan return of investment (ROI) si penanam modal.
Posisi kondotel yang berada di daerah wisata memang memberikan pesona tersendiri. Pada saat peak season (musim puncak), tingkat huniannya bisa melebihi supply. Namun, persoalannya apakah situasi serupa juga bisa diraih pada saat low season (musim rendah)? Inilah yang mesti menjadi perhatian serius jika ingin berinvestasi di kondotel.
Lain lagi dengan kondotel yang terletak di kawasan perkotaan dan bukan termasuk kategori hotel wisata. Kondotel yang seperti ini biasanya mengandalkan traffic dari para pengusaha, profesional, dan pebisnis. Konsepnya pun dikemas dengan memaksimalkan potensi MICE (Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition) sehingga berdampak pada daya huni unit-unit yang tersedia.
“Biasanya kondotel yang berada di non-kawasan wisata lebih memiliki kemampuan hunian tinggi dibandingkan kondotel wisata karena tidak tergantung pada musim-musim liburan saja,” kata Yosi Hidayat Prabowo, konsultan properti yang juga President Director PT Selaras Anugerah Wijaya.
Lokasi Menentukan Prestasi
Pakem mengenai lokasi yang strategis menjadi acuan penting dalam memilih investasi properti memang tak ada matinya. Pun begitu dengan kondotel. Faktor lokasi bagaimanapun tidak bisa dimungkiri berperan aktif dalam menentukan kesuksesan investor mendulang cuan. Di lokasi yang bagus, investor kondotel bisa mendapatkan beberapa keuntungan seperti: daya huni tinggi; kenaikan harga unit spesifik; pendapatan operasional yang besarannya rata-rata lebih tinggi dari bunga deposito; dan menikmati unitnya sendiri sewaktu-waktu.
Bahkan, para pengembang kondotel kerap mengiming-imingi calon investor dengan jaminan sewa atau rental guarantee yang bervarian mulai dari 10% sampai 20% untuk jangka waktu tertentu. Langkah ini ditempuh semata-mata untuk memikat pembeli agar bersedia menginvestasikan duitnya di kondotel.
Dalam investasi kondotel, hal yang paling penting adalah mendapatkan occupancy rate maksimal. Kunci meraih occupacy rate tinggi ini tentunya lokasi bagus, strategis dan ramai. Yosi menyebutnya sebagai siklus profit, yakni diawali dari lokasi—occupany rate—ROI—dan capital gain.
“Kalau lokasinya mumpuni, maka daya huni juga tinggi dan properti benar-benar menjadi cash rutin ke rekening investor,” tegasnya.
Hampir mirip dengan skema keuntungan investasi properti jenis lainnya, seperti apartemen dan rumah. Tapi yang membedakan kondotel adalah nilai sewanya yang cenderung lebih tinggi (mahal) dari apartemen atau rumah sekalipun. Kenapa lebih mahal? Karena kondotel umumnya sudah fully furnished sehingga tidak perlu lagi direpotkan dengan perabotan yang harus dibeli. Kemudian soal desain interior yang jauh lebih elegan dan mewah karena telah ditentukan oleh operator demi kenyamanan penghuni.
Selain itu, kondotel dioperasikan oleh pihak ketiga atau pengelola tersendiri yakni hotel-hotel berbintang 4 atau 5. Semakin terkenal operatornya, unit dan fasilitas biasanya lebih mewah sehingga charge pun lebih mahal. Beberapa nama besar operator hotel terkenal yang beroperasi di Indonesia antara lain: Archipelago International (Aston), Best Western, Sahid, Accor, Novotel, Swiss-Belhotel, Santika, Harris, dan masih banyak lagi lainnya.
Dari kerja sama dengan operator tersebut, keuntungan investor harus dibagi dengan operator yang mengelola. Umumnya, sharing profit adalah 70% untuk investor dan 30% untuk operator. Namun ada pula yang berbeda, misalnya Lor-In Hotel yang menawarkan revenue sharing 50:50.
Dikatakan Heri Haryosa, General Manager Lor-In bahwa pembagian yang rata tersebut karena pihak pengelola mengutamakan kenyamanan investasi bagi investor dan istimewanya lagi angka 50% itu sudah dipotong dengan biaya listrik, gaji karyawan dan biaya maintenance. Sementara sisanya akan dimiliki oleh manajemen. “Pembagian revenue sharing akan diberikan tiap tahun ketika tutup buku,” imbuh Heri.