Sepanjang 2016, kita melihat banyak peristiwa dan event yang tiba-tiba menjadi menarik dan menyebar luas.Semuanya terjadi karena media sosial. Mari kita lihat media sosial dalam tiga perspektif untuk mengetahui kekuatannya. Para pelaku industri properti juga perlu memahami untuk melihat pengaruhnya dalam membangun merek dan meningkatkan penjualan.
- Media Sosial adalah Media
Karena setiap orang menjadi media, maka mudah dipahami bahwa media sosial adalah media. Kenyataannya, perusahaan atau pelaku bisnis sering tidak berpikir bahwa media sosial adalah media. Masih banyak perusahaan melihat media sosial sebagai media yang berbeda dengan media konvensional—yang sudah biasa mereka gunakan untuk meningkatkan penjualan, berkomunikasi, menjalin relationship atau membangun merek.
Sebagai media, maka media sosial adalah sebuah saluran komunikasi dan sekaligus memiliki konten. Karena berfungsi sebagai saluran, media sosial memiliki dua kemampuan yang dapat diukur. Pertama, media sosial mempunyai kemampuan untuk menjangkau target pasar. Inilah esensinya sebuah saluran, yaitu mampu menjangkau target pasar yang dikehendaki. Dan memang, media sosial dapat dihitung kemampuan reach dengan baik, mampu menjangkau ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu dan jutaan target pasar yang kita inginkan. Bila dibandingkan dengan media konvensional seperti televisi, maka mengevaluasi kemampuan reach dari media sosial lebih akurat dan hasilnya real time.
Kedua, sebuah media memiliki relevansi karena membawa pesan. Hanya saja, pesan dari media sosial ini sudah tidak sama dengan pesan yang diinginkan oleh perusahaan atau para pemilik merek. Pesan ini dibentuk dari konten dan sering kali bukan konten yang dibuat perusahaan, tetapi justru konten yang dibentuk oleh para konsumennya sendiri. Karena konsumen tersebut menjadi media dan sanggup menciptakan pesan.
Kemampuan reach dan relevancy inilah yang membuat media sosial mampu menciptakan awareness dan image: dua komponen terpenting dari sebuah merek. Karena kemampuan reach dan relevancy, media sosial mampu menciptakan penjualan dengan menyampaikan pesan yang berisi insentif dan reward. Karena reach dan relevancy inilah, media sosial mampu membentuk relationship antara perusahaan dan para pelanggannya melalui proses engagement.
- Media Sosial adalah Perilaku
Perspektif kedua dari media sosial yang penting adalah perilaku. Pelaku bisnis dan marketer perlu mengetahui perubahan perilaku konsumen dan pelanggannya. Perilaku mereka sangat beragam dalam menyikapi media sosial. Ini tergantung dari faktor demografis dan psikografis setiap individu. Terdapat sekelompok orang yang disebut sebagai spectator. Mereka hanya menikmati media sosial dengan membaca dan melihat. Sebagian sudah lebih maju dengan ikut sharing dan berbagi. Yang lebih aktif lagi, adalah mereka yang memperbaiki profil mereka dan ikut memberikan komentar. Terutama anak-anak muda, mereka ikut dan aktif menciptakan percakapan. Perilaku tertinggi adalah mereka yang mampu menciptakan ide, menginspirasi orang lain, membentuk opini dan lainnya. Inilah para blogger yang rajin meluangkan waktunya berjam-jam untuk menulis sesuatu.
Menghadapi perilaku yang berbeda itu, langkah pertama bagi pelaku bisnis dan marketer adalah perlu mendengar. Ini dapat dilakukan melalui dengan berbagai cara. Perusahaan atau pemilik merek yang memiliki akun media sosial perlu mendengarkan apa yang menjadi percakapan para konsumen atau target pasarnya. Selain mendengar, marketer juga mampu membuat percakapan yang dapat mempengaruhi mereka. Setelah itu, marketer bisa memberikan dukungan terhadap komunitas tertentu untuk melakukan sesuatu. Pada akhirnya, terjadilah proses engagement yang menjadi tujuan penting.
- Media Sosial adalah Budaya
Dari tiga persepktif penting dari media sosial, faktor budaya perusahaan adalah gap yang terbesar. Dalam konteks budaya ini, elemen terpenting adalah faktor mindset dan leadership. Perusahaan perlu memiliki mindset yang baru dalam menghadapi gelombang media sosial. Dunia sudah berubah terutama konsumen yang sekarang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Konsumen memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan diri, mereka meminta waktu saat ini, kapan saja untuk berkomunikasi. Proses horisontalisasi ini haruslah membuat proses bisnis yang berubah. Di satu sisi, ini adalah tantangan, tapi di sisi lain, kesempatan untuk mengembangkan menjadi social capital yang besar bila mampu memberikan pengalaman yang baru bagi konsumen atau pelanggannya dalam media sosial sehingga mencitakan engagement.
Budaya perusahaan juga ditentukan oleh pimpinan puncak perusahaan, CEO dan jajaran BOD-nya. Mereka yang tidak siap dengan transpansi pasti akan menolak dan tidak paham terhadap media sosial, terutama pimpinan dari generasi tua. Mereka yang tidak mempraktikkan open leadership, akhirnya akan dihantam badai oleh media sosial yang memiliki kekuatan. Pimpinan yang tidak mampu melibatkan karyawan dalam proses bisnisnya, tidak akan mampu menciptakan kekuatan karyawan dalam berinteraksi dengan para pelanggannya. Kemampuan inovasi perusahaan akan menjadi lemah bila pimpinan tidak mau mendengar percakapan konsumennya di media sosial.
Terutama untuk industri yang sudah tersentuh dengan kekuatan media sosial, perusahaan harus mengubah gaya kepemimpinannya. Dibutuhkan seorang leader yang open, transparan, berani mengambil risiko dan selalu mengutamakan proses yang kolaboratif. Kenyataannya, di era media sosial ini, kekuatan merek tidak diciptakan oleh perusahaan tetapi oleh hasil kolaborasi dengan konsumennya.
Untuk industri properti, para pengembang yang bergerak di bidang pusat perbelanjaan atau mal sudah pasti harus benar-benar memperhatikan kekuatan dari media sosial ini. Jumlah pengunjung mal suatu saat akan banyak dipengaruhi oleh kekuatan media sosial. □
Handi Irawan D
CEO-Frontier Capital
@HandiirawanD