Property-In.co – Berbeda dengan kebanyakan negara Asia, Indonesia masih menutup rapat pintu kepemilikan properti bagi orang asing. Ada yang mendukung, tapi banyak juga melihat perlunya akses tersebut segera dibuka.
Kepemilikan properti oleh asing di Indonesia sempat menjadi pembicaraan serius beberapa tahun belakangan ini. Gelaran diskusi dan seminar dengan tema tersebut beberapa kali diangkat tanpa menemui kesepakatan yang bulat: apakah perlu atau tidak keran kepemilikan asing dibuka. Sampai akhirnya di tangan Presiden Jokowi, polemik tersebut berakhir dengan wacana direstuinya asing membeli dan memiliki properti di Tanah Air.
Namun, ada kesimpangsiuran informasi terkait dengan akan dibukanya keran tersebut. Ali Tranghanda, Direktur Indonesia Property Watch menyebutkan, dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang ada, tidak dimungkinkan orang asing memiliki properti di Indonesia tanpa melalui hak pakai, yang artinya saat ini saja orang asing sudah bisa membeli properti. Nah, yang sekarang perlu dikaji apakah hak pakai tersebut dapat langsung diperpanjang selama 70 tahun.
“Jika pemerintah merevisi agar orang asing dapat membeli dengan hak milik, misalnya, maka itu tentunya telah menyalahi UU yang ada dan itu merupakan sebuah dosa bagi masyarakat Indonesia,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Property-In.
Sebenarnya, kepemilikan asing di Indonesia tinggal menunggu waktu saja. Menurut Ali, sebelum diberlakukannya kebijakan kepemilikan asing, Indonesia harus siap dulu dengan sistem perumahan nasional yang ada saat ini—termasuk soal penyelesaian penyediaan public housing.
Pemerintah perlu sadar benar bahwa dengan dibukanya kepemilikan asing, maka sebagian penerimaan dari sisi pajak misalkan harus dapat dipakai untuk penyediaan rumah murah dengan mekanisme yang jelas. Tanpa mekanisme yang direncanakan, bisa dipastikan tidak ada subsidi bantuan untuk membantu masyarakat menengah-bawah.
Selain itu, pemerintah juga harus dapat menjamin dengan kebijakan tersebut, harga tanah tidak akan naik tak terkendali meskipun akan dilakukan zonasi. Terkait zonasi ini juga disampaikan Ketua REI, Eddy Hussy. Terkait kepemilikan asing ini, REI mengusulkan perlunya zona-zona yang diperuntukkan untuk program sejuta rumah. “Sehingga kalau zona-zona itu sudah ditentukan, kita tidak akan khawatir dengan harganya,” ujar Eddy saat ditemui di Jakarta.
Sementara itu, Suryadi Sasmita, Wakil Ketua Umum Apindo turut menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, di seluruh dunia, hanya di Indonesia saja orang asing tidak boleh beli. Orang Indonesia mau dan mampu beli di Singapura dan Australia tentu duitnya keluar. “Ada kepanikan, harga akan naik jika dibeli orang asing. Padahal kalau harga naik, ya tinggal naik saja.”
Saat ini kebijakan orang-orang asing bisa memiliki baru sebatas pembahasan di Kementerian PU-PERA, belum ada keputusan final.
“Tapi, intinya kalau orang asing bisa beli di Indonesia, mereka akan menanamkan investasi properti di sini. Mereka juga tidak akan sewa. Jadi mengenai asing ini positifnya banyak sekali. Mudah-mudahan yang pro dan kontra ini bersatu untuk menemukan solusi,” imbuhnya.
Ali melanjutkan, sebenarnya dengan kondisi saat ini saja, WNA sejatinya sudah patut bergembira karena sudah bisa membeli properti melalui hak pakai (meskipun harus diperpanjang). Tanpa adanya revisi perpanjangan hak pakai pun, warga asing akan tetap membeli properti di Indonesia—dengan hak pakai, jika memang dibutuhkan untuk para eksptariatnya.
Selain itu, WNA bisa juga menyewa tanpa membeli dari para investor lokal (orang Indonesia). Jadi, seharusnya dengan dikondisikan menyewa pun akan memberikan keuntungan bagi pasar lokal. Karenanya bagi Ali, sebuah hal yang mengada-ada bila kemudian kepemilikan asing seakan-akan sudah mendesak.
“Ironisnya lagi jika ada perpanjangan hak pakai seumur hidup dan bisa diwariskan, itu akan memberikan rasa ketidakadilan. Pasalnya, pribumi dengan HGB hanya bisa 30 tahun dan diperpanjang, WNA malah bisa seumur hidup,” katanya.
Indonesia Property Watch, kata Ali, meminta pemerintah tidak mengada-ada dalam membuat kebijakan yang dapat meresahkan dan merusak tatanan perumahan nasional—khususnya untuk masyarakat menengah-bawah.
Persoalan lain yang juga memantik api pro-kontra adalah masalah pajak properti yang dianggap ‘memberatkan’ langkah investor. Bagaimana tidak? Saat ini ada ketentuan khusus terkait batasan harga yang terkena pajak barang mewah seperti properti premium.
Suryadi yang terlibat di TOPP (Tim Optimalis Penerimaan Perpajakan) mengatakan bertanggung jawab pada peningkatan pajak. Jika para investor mau mengembangkan bisnisnya dan terjadi banyak penjualan, penerimaan pajak akhirnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dari diskusi dengan Sulistiyo Wibowo, Kepala Sub Direktorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh, serta Eddy Hussy disepakati untuk mengklarifikasi berita yang menyebabkan orang takut membeli properti dengan menyatakan bahwa saat ini di properti ada 174 bisnis yang berkaitan sehingga jika properti jatuh, maka penerimaan pajak berkurang. “Kami justru ingin menghindari itu,” kata Suryadi.
Sementara itu Sulistiyo Wibowo menerangkan pada prinsipnya pajak mempunyai dua fungsi. Ada fungsi penerimaan negara dan fungsi mengatur. Artinya pajak itu seharusnya bersifat netral dan tidak boleh juga mengganggu usaha. “Seperti teman-teman lihat saat ini terjadi perlambatan ekonomi, termasuk perlambatan dari sisi penjualan properti, yang akhirnya mempengaruhi penerimaan pajak,” bebernya.
Akibatnya pula pembangunan bisa terhambat. Makanya, pemerintah mendorong penerimaan pajak agar pembangunan berjalan. Itu juga dilakukan untuk pajak barang mewah seperti yang tertuang di PPh pasal 21. Sulistiyo menerangkan, pajak yang dikenakan yakni atas penghasilannya dan bukan propertinya. Walaupun nanti juga harus dibayar, namun wajib bersifat netral.
“Kami sebenarnya mempermudah. Misalkan, ada yang mau beli properti mewah harus dibayar pajaknya karena di peraturan lama pembayaran pajak tidak diatur. Intinya kami berharap dapat mendorong industri properti di Indonesia tumbuh lebih baik lagi,” pungkas Sulistyo. – Richardus Setia Gunawan & Aziz Fahmi Hidayat